Rabu, 26 Juni 2013

Cara Jepang Menangani Banjir

Dalam kurun waktu 1945 -1959 bencana banjir, taifun, gempabumi, tsunami telah banyak menelan ribuan korban jiwa di Jepang. Tahun 2000 saat Banjir Tokai jumlah korban meninggal 100 jiwa dengan kerugian 2 triliun yen. Lazimnya frekuensi banjir terjadi 5 kali dalam kurun waktu 1990 -1999. Berkurangnya lahan hutan, sungai dan danau serta daerah resapan air dikarenakan dampak luas area limpahan banjir. Terlebih lagi jumlah presipitasi curah hujan di Jepang tergolong tinggi 1.714 mm/tahun dibanding Australia, Amerika Serikat, Saudi Arabia, Perancis, Inggris dan negara-negara dunia lainnya pada musim penghujan dan badai.

Banjir di wilayah Jepang juga dipengaruhi oleh jumlah dan panjang sungai terlebih lagi bila dikaitkan dengan lama genangan dan kecepatan limpasan banjir per unit catchment area. Kebanyakan kota-kota di Jepang berada di bawah level ketinggian sungai. Apalagi dibangunnya subway akan menumbuhkan underground city dan pusat-pusat keramaian sampai beberapa tingkat ke bagian bawah tanah. Hal ini sangat rawan terhadap bahaya banjir merusak.

Problematika urbanisasi yang semakin besar kian tahunnya menyerobot lahan yang seharusnya diperuntukkan daerah bebas untuk cacthment area. Hal ini betul-betul memperparah keadaan Tokyo. Di sekitar Sungai Tsurumi tahun 1958 urbanisasi masih berkisar 10%. Kenaikannya tahun 1997 sudah sebesar 84,3 % dengan populasi 1.820.000 meliputi 196 km2. Dapat dibayangkan banyaknya korban jiwa berjatuhan karena terendam banjir seandainya sungai itu meluap.
Penanganan manajemen bencana di Jepang berada di bawah Kementrian Tanah, Infrastruktur dan Transportasi (MLIT / Ministry of Land, Infrastructure, Information and Technology) yang membawahi masalah banjir (masalah pengairan), endapan sediment, letusan gunung berapi, gempa bumi, informasi teknologi (IT) untuk pengurangan dampak bencana alam di Jepang. Infrastuktur yang ditangani meliputi sungai, jalan, pelabuhan laut dan udara, sistem pembuangan limbah, dan pertamanan.

Mirip halnya dengan yang telah ada di Indonesia, bagian-bagian dasar penanganan bencana di Indonesia terdiri dari aspek regulasi, sistem manajemen, rencana, persiapan, tanggap darurat dan recovery. Yang menarik dalam hal recovery, Jepang sudah menganggarkannya dari pajak yang dipungut rutin perbulannya untuk kemudian bisa dinikmati korban dalam bentuk dana kompensasi bencana, asuransi, pengurangan atau pembebasan pajak.

Selain itu ciri khas Jepang sebagai negara berteknologi tinggi juga cukup menonjol perannya dalam penanganan bencana ini. Jaringan komunikasi radio pusat dan daerah terhubung secara organisatoris – tidak berdiri sendiri-sendiri. NTT (Nippon Telegraph and Telephone) dan NHK (Nippon Broadcasting Corporation) menjadi media pelayanan masyarakat cuma-cuma, mengesampingkan keuntungan dan popularitas untuk sementara waktu. Sehinga ketika banjir atau gempa bumi terjadi, masyarakat bisa menikmati telepon gratis untuk menghubungi keluarganya.
Info banjir meliputi : waktu normal dengan peta bencana sebagai tahap persiapan, dan waktu darurat dengan status siaga dan perkiraan turun hujan, kenaikan ketinggian banjir, peringatan dan evakuasi. Selanjutnya seluruh komponen teknis tanggap darurat beraksi terdiri dari kendaraan evakuasi, ambulan, helicopter, dan tim-tim penolong (rescue).

Penanganan integrasi Flood Control meliputi :
1. Perbaikan Sungai Perbaikan saluran irigasi (tanggul/embankment, pengerukan dasar sungai/dredging), kontruksi ketahanan daerah cekungan dan saluran limpahan banjir.

2. Penanggulangan kerusakan. Pelaksanaanya dilakukan di tiga area :
a. Area penahan (retention) : perbaikan kontrol distrik urbanisasi, konservasi alam, promosi gerakan penghijauan, kontruksi daerah cekungan, instalasi trotoar yang mampu menyerap limpasan air, dan mesin penyedot air.
b. Area pemelihara (detention) : pelestarian zona bebas urban, pengawasan lahan, promosi lahan hijau.
c. Area rendah (rawan banjir): pembuatan fasilitas drainase, pembuatan fasilitas cadangan bahan pangan, sandang kebutuhan darurat bencana, mendorong penggunaan bangunan tahan air (floodproof).

3. Penanggulangan (mitigasi) bencana. Terdiri dari : peresmian sistem peringatan dan evakuasi bencana, perluasan sistem flood-fighting yang telah ada, mendorong penggunaan bangunan floodproof, penyebaran informasi sesama warga setempat sekaligus membentuk komunitas bersama warga sadar bencana banjir, pengendalian lingkungan (pembuangan sampah) agar tidak mengganggu jalannya saluran air, dan publikasi area peta historis inundasi (kenaikan air mencapai daratan). Kata kunci dari program ini adalah tanggung jawab, keputusan, dan aksi nyata saat bencana terjadi. Kesemuanya ditanggung bersama oleh pemerintah pusat (nation), provinsi/daerah (prefecture), kota (municipality) dan warga (resident). Tapi pelaksana dari flood fighting ini terletak pada pemerintah kota beserta masyarakatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar