a. Curah Hujan
Oleh karena beriklim tropis, Indonesia mempunyai dua musim sepanjang
tahun, yakni musim penghujan umumnya terjadi antara bulan Oktober–Maret
dan musim kemarau terjadi antara bulan April- September. Pada musim
hujan, curah hujan yang tinggi berakibat banjir di sungai dan bila
melebihi tebing sungai maka akan timbul banjir atau genangan.
b. Pengaruh Fisiografi
Fisiografi atau geografi fisik sungai seperti bentuk, fungsi dan
kemiringan daerah aliran sungai (DAS), kemiringan sungai, geometric
hidrolik (bentuk penampang seperti lebar, kedalaman, potongan memanjang,
material dasar sungai), lokasi sungai dan lain-lain merupakan hal-hal
yang mempengaruhi terjadinya banjir.
c. Erosi dan Sedimentasi
Erosi di DAS berpengaruh terhadap pengurangan kapasitas penampang
sungai. Erosi menjadi problem klasik sungai-sungai di Indonesia.
Besarnya sedimentasi akan mengurangi kapasitas saluran sehingga timbul
genangan dan banjir di sungai.
Sedimentasi juga merupakan masalah besar pada sungai-sungai di
Indonesia. Menurut Rahim (2000), erosi tanah longsor (landslide) dan
erosi pinggir sungai (stream bank erosion) memberikan sumbangan sangat
besar terhadap sedimentasi di sungai-sungai, bendungan dan akhirnya ke
laut.
d. Kapasitas Sungai
Pengurangan kapasitas aliran banjir pada sungai dapat disebabkan oleh
pengendapan berasal dari erosi DAS dan erosi tanggul sungai yang
berlebihan. Sedimentasi sungai terjadi karena tidak adanya vegetasi
penutup dan adanya penggunaan lahan yang tidak tepat, sedimentasi ini
menyebabkan terjadinya agradasi dan pendangkalan pada sungai, hal ini
dapat menyebabkan berkurangnya kapasitas tampungan sungai. Efek langsung
dari fenomena ini menyebabkan meluapnya air dari alur sungai keluar dan
menyebabkan banjir.
e. Kapasitas Drainasi yang tidak memadai
Sebagian besar kota-kota di Indonesia mempunyai drainasi daerah genangan
yang tidak memadai, sehingga kota-kota tersebut sering menjadi
langganan banjir di musim hujan.
f. Pengaruh air pasang
Air pasang laut memperlambat aliran sungai ke laut. Pada waktu banjir
bersamaan dengan air pasang yang tinggi maka tinggi genangan atau banjir
menjadi besar karena terjadi aliran balik (backwater). Fenomena
genangan air pasang (Rob) juga rentan terjadi di daerah pesisir
sepanjang tahun baik di musim hujan dan maupun di musim kemarau
g. Pemanasan Global
Pemanasan global (global warming) merupakan aspek yang perlu mendapatkan
perhatian besar karena akan mempengaruhi peningkatan frekuensi dan
intensitas banjir dengan pola hujan yang acak dan musim hujan yang
pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Frekuensi
dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada
dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia
Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir
mencapai 2 juta mil persegi. Peningkatan volume air pada kawasan pesisir
akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan muka air laut serta
peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu
yang bersamaan.
h. Hilangnya kelestarian wilayah kawasan penyimpan air di Jabodetabek
Situ, danau, rawa dan hutan bakau, berperan penting sebagai penyimpan
air yang mengurangi volume banjir. Kelestarian kawasan ini merupakan
keharusan. Jakarta terus kehilangan kawasan lahan basah demi kawasan
real estate, perindustrian, lapangan golf dan sebagainya. Hutan bakau
Angke Kapuk, pada 1980-an masih menutupi areal seluas 1.500-an hektare,
merosot tajam menjadi 327 hektare saja pada tahun 1993.
i. Konversi besar-besaran ruang terbuka hijau dan kawasan resapan air di jabodetabekunjur.
Penghijauan Kota Jakarta adalah isu usang yang berulang diusung
pemerintah DKI. Tak kurang dari delapan program penghijauan diluncurkan
sejak 1970 hingga yang terkini Program Jakarta Hijau (2003). Anehnya,
target luasan ruang terbuka hijau (RTH) yang ingin dicapai justru terus
menurun tajam. Jika dalam Rencana Induk Djakarta 1965-1985 ditargetkan
luas RTH sebesar 37,2 persen, maka dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR)
Jakarta 1985-2005 target luas RTH dipangkas menjadi 25,85 persen.
(Nirwono Jogo, Kompas, 19 Juni 2003). Selanjutnya, Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Jakarta 2000-2010 dengan target hanya sebesar 13,94
persen (tidak ideal). Sementara itu, luas RTH di lapangan hanya berkisar
9% dari total luas Kota Jakarta.
j. Menurunnya kualitas lahan hijau di pekarangan bangunan.
Sebenarnya pemerintah telah memiliki peraturan yang jelas tentang
Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yang mengatur perbandingan antara luas
dasar bangunan dan tanah yang ditempatinya. KDB untuk masing masing
wilayah, diatur bervariasi tergantung kepada peruntukkannya. Sebagai
contoh, menurut RUTR DKI, di Jakarta Selatan wilayah pengembangan
Selatan untuk pelestarian lingkungan dan resapan air KDB nya 20% saja –
ini berarti jika luas tanah 100 meter persegi, maka bangunan diatasnya
maksimun seluas 20 meter persegi.
k. Tidak optimalnya setiap bangunan memiliki sumur resapan
Sumur resapan, menampung air hujan di dalam tanah, membantu memperkecil
volume air mengalir dan banjir. Potensi air hujan di wilayah DKI
diperkirakan mencapai tiga milliar kubik per tahun (Dinas Pertambangan
DKI). Menurut Neraca Keseimbangan Lingkungan Hidup Daerah (NKLHD) 2001,
dari luas wilayah Jakarta sebesar 661 kilometer persegi, 92 persen
diantaranya telah terbangun, akibatnya air hujan langsung mengalir di
permukaan dan kurang meresap ketanah. Ini menyebabkan banjir di musim
hujan dan kesulitan air bersih dimusim kering. Guna mengisi kembali air
tanah sebagai cadangan air, dan mengurangi resiko banjir diperlukan
gerakan pembangunan sumur resapan air hujan di seluruh Jakarta.
l. Rusak dan tercemarnya sempadan sungai
Tanaman di sepanjang sempadan sungai, berfungsi mencegah erosi dan
longsor. Sempadan sungai yang banyak ditumbuhi pohon akan mengurangi
kecepatan aliran air hingga kerusakan berkurang. Diperlukan upaya serius
untuk mewujudkan kawasan selebar 25 meter dari bibir kanan dan kiri
sungai sungai besar (5 meter pada sungai kecil) menjadi kawasan
penyimpan air yang efektif. Penegakan hukum terhadap operasi pembuangan
ilegal dengan menutup dan merehabilitasi gunung-gunung sampah di
bantaran sungai, dan memberikan subsidi untuk sistem pengumpulan sampah
di kelurahan-kelurahan miskin sepanjang sempadan sungai. Dalam jangka
menengah, pengembangan sistem daur ulang sampah dan pengomposan sampah
organik berbasis masyarakat dapat lebih jauh menjawab persoalan di
akarnya.
m. Rusaknya System Hutan Kawasan Hulu
Daerah tangkapan dipengaruhi oleh penutupan lahan (sifat tanah, sifat
vegetasi, kerapatan infrastruktur, fungsi sistim drainasi mikro). Daerah
tangkapan hujan di ketiga belas sungai utama yang bermuara di Pantai
Utara Jakarta umumnya berada pada daerah dataran rendah serta intensitas
pemanfaatan lahan yang relatif tinggi, sehingga koefisien aliran
permukaan cenderung besar. Rusaknya sistem hutan kawasan hulu sudah
barang tentu mengkontribusi kejadian banjir, namun suatu saat juga
kekeringan, karena kondisi hutan yang gundul akan menyebabkan pola
distribusi aliran di sungai menjadi semakin tidak ideal (terlalu tinggi
di musim hujan dan terlalu rendah pada musim kemarau).]
n. Jaringan Drainasi Hujan Yang Minim
Alur pembawa aliran yang terdiri dari sistem mikro berupa jaringan
drainasi air hujan diduga kurang ideal (jumlah, kapasitas, fungsi kurang
sesuai dengan beban hujan yang kebetulan juga abnormal). Masalah
menjadi semakin kompleks dengan belum tersedianya sistem makro yang
sejak lama direncanakan belum/tidak jadi dibangun (antara lain:
penyelesaian saluran Banjir Kanal Timur, peningkatan kapasitas Pintu Air
Manggarai, peningkatan kapasitas saluran Banjir Kanal Barat,
normalisasi Kali Ciliwung, Penataan Kali Pesanggrahan, dan sebagainya.
o. Banyaknya bangunan di Jakarta yang belum memiliki IMB
IMB merupakan instrumen hukum untuk mengatur lingkungan, khususnya
resapan air tanah, yang bernama koefisien luas bangunan (KLB). Pada
prinsip KLB, semua pihak yang ingin mendirikan bangunan di Jakarta harus
menyisakan 30 persen luas tanah untuk RTH. Jadi, kalau luas tanahnya
100 meter persegi, bangunan yang boleh didirikan hanya 70 meter persegi.
Dengan media 30 meter persegi, cukup efektif untuk resapan air tanah
dan menanggulangi banjir.
Dinas Pengawas dan Penataan Bangunan pemerintah DKI Jakarta membuktikan
bahwa rumah di Jakarta yang mempunyai IMB hanya 25 persen (325 ribu
unit) dari total 1,3 juta unit. Dengan kata lain, 75 persen (925 ribu
unit) rumah di Jakarta adalah “rumah liar”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar