Sementara itu di Eropa dalam mengatasi masalah sampah ini,
Komisi Eropa telah membuat panduan dasar pengelolaan sampah yang
diperuntukkan untuk negara-negara anggotanya, seperti Belanda, Swedia
dan Jerman. Dalam penyusunan panduan itu melibatkan pemerintah,
pengusaha, dan rakyat masing-masing negara. Lalu, Kebijaksanaan Eropa
itu kemudian diterjemahkan oleh parlemen negara masing-masing ke dalam
perundang-undangan domestik, yang berlaku buat pemerintah pusat hingga
daerah.
Sampai dengan abad ke-17 penduduk Belanda melempar sampah di mana saja
sesuka hati. Di abad berikutnya sampah mulai menimbulkan penyakit,
sehingga pemerintah menyediakan tempat-tempat pembuangan sampah. Di abad
ke-19, sampah masih tetap dikumpulkan di tempat tertentu, tapi bukan
lagi penduduk yang membuangnya, melainkan petugas pemerintah daerah yang
datang mengambilnya dari rumah-rumah penduduk. Di abad ke-20 sampah
yang terkumpul tidak lagi dibiarkan tertimbun sampai membusuk, melainkan
dibakar. Kondisi pengelolaan sampah di Negeri Kincir Angin (Belanda)
saat itu kira-kira sama seperti di Indonesia saat ini.
Di Belanda, mereka memisahkan sampah menjadi: sampah
organik, sampah yang bisa didaur ulang, sampah yang tidak berbahaya bila
dibakar, dan sampah yang berbahaya/beracun. Pemerintah Belanda
menyediakan tempat2 sampah sesuai jenisnya, sehingga memudahkan dinas
pengelolaan sampah untuk mengolahnya. Sampah organik seperti sisa
makanan ataupun daun2an kemudian diproses menjadi pupuk kompos. Sampah2
seperti kertas, kaca, dan logam bisa didaur ulang kembali. Sedangkan
sampah2 yang tidak berbahaya dibakar untuk kemudian bisa membangkitkan
pembangkit listrik tenaga uap (ini bisa jadi solusi buat PLN yang
katanya lagi krisis energi). Sedangkan sampah2 berbahaya seperti batu
baterai dan aki di karantina karena berbahaya bagi lingkungan (sanitary
landfill)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar