Selasa, 30 Juli 2013

Maskot Jakarta




Anda Tahu apa Maskot Jakarta? Mungkin ada yang menjawab Monas, Ondel-ondel, atau kerak telor. Jawaban yang benar  ialah Elang Bondol dan Salak Condet. Elang Bondol sebenarnya bukan satwa endemik Jakarta. Elang bondol nama latinnya adalah Haliastur Indus. Elang bondol   termasuk dalam keluarga burung pemangsa. Habitat dari elang bondol itu sendiri kebanyakan di daerah pantai, daratan berair, hutan, maupun dataran rendah. Elang bondol dapat dijumpai di beberapa Negara yaitu India, China Selatan, Filipina, dan Australia. Sedangkan salak condet, buah khas Jakarta dapat ditemui di daerah Condet, Jakarta Timur. Salak condet merupakan buah asli kota Jakarta. Kini, keberadaan salak condet dan elang bondol hampir punah dan sulit untuk dijumpai.




Buah salak condet sulit dibedakan dengan jenis salak lain. Bentuk buahnya bulat telur terbalik mengarah ke bulat. Kulit buahnya bersisik agak besar dan berwarna cokelat sampai kehitaman. Daging buahnya tebal, masir, kesat, dan tak berair serta berwarna putih kekuningan. Rasanya bervariasi, dari kurang manis sampai manis. Salah satu keistimewaan salak condet adalah aromanya yang wangi. Bahkan, wangi salak ini sudah tercium dari jarak sekitar 2 m. Ukuran buahnya bervariasi dari kecil, sedang, sampai besar. Produktivitasnya termasuk rendah.




Kata Condet sendiri dipercaya berasal dari nama seseorang yang memiliki kesaktian dan memiliki bekas luka diwajahnya (Codet), orang sakti tersebut seringkali muncul  didaerah Batu Ampar, Balekambang dan Pejaten.  Ada lagi sebagian Orang mengatakan bahwa orang yang memiliki Kesaktian tersebut adalah Pangeran Geger atau  Ki Tua. Dewasa ini, sedikit sekali masyarakat yang mengetahui nama para tokoh sejarah yang pernah berjasa ditanah Condet, seperti Pangeran Geger, Ki Tua Pangeran Purbaya, Pangeran Astawana, Tong Gendut, dll


Entong Gendut

Pada tahun 1964, oleh pemerintah didaerah Condet pernah akan dibangun komplek Militer Cakrabirawa dan rencana pembangunan Universitas Bungkarno, tetapi rencana ini ditentang oleh masyarakat Condet dengan alasan untuk melindungi lingkungan alam, budaya, adat istiadat  yang begitu melekat dikalangan masyarakat Condet kala itu. 

Tahun 1965 terjadi pemberontakan G30S/PKI sehingga rencana Pemerintah orde lama pada waktu itu, tidak dapat direalisasikan.  Dari beberapa sumber, Kultur daerah Condet sangat berbeda dengan daerah-daerah lain di Jakarta sehingga masyarakat sangat selektif menerima segala macam interpensi budaya dan adat istiadat. Ketika itu, ada kepercayaan yang berkembang sebagian masyarakat, bila ada pihak/orang yang berani melanggar budaya masyarakat Condet, maka pihak/orang itu akan terkena musibah.

Untuk melindungi kultur budaya masyarakat tersebut Pada akhirnya Pemerintah menetapkan  kawasan Condet yang terdiri dari kelurahan Belekambang, Batu Ampar dan Kampung Tengah menjadi kawasan yang dilindungi (Cagar Budaya Buah-buahan) berdasarkan surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (Letjen. TNI Marinir Ali Sadikin) tanggal 18 Desember 1975 Nomor D.I. 7903/a/30/1975 (Anonimuous, 1975). 

Untuk menjaga kelangsungan dan kehidupan perkampungan Condet serta sebagai pelaksanaan keputusan gubernur tentang cagar budaya buah-buahan, maka pada tanggal 20 Oktober 1976 Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta kembali menginstruksikan kepada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) untuk menyusun rencana pola kebijaksanaan pemerintah DKI dan tata kerja proyek Cagar Budaya Condet dengan instruksi No.D.IV-99/d/11/76 (Anonimous, 1976).

Pada tahun yang sama Pemerintah kembali mengeluarkan instruksi nomor D.IV– 116/d/11/76 tentang pembatasan terhadap pengembangkan kawasan Condet (Anonimous, 1976).

Penetapan condet sebagai cagar budaya Buah-buahan menimbulkan daya tarik bagi kalangan menengah keatas untuk menanamkan investasi atau bermukim di condet, hal ini ditandai dengan bermuculannya rumah-rumah mewah di kawasan tersebut. Menurut data perubahan pungsi lahan dikawasan Condet selama periode itu sebesar 217.8 Ha atau dari 135.3 Ha (1976) menjadi 353.1 Ha (1986) dari data tersebut rata-rata pertahun di kawasan Condet terjadi perubahan fungsi lahan sebesar 3 9 Ha.

Untuk mengantisipasinya, maka pada tanggal 1 januari 1986 Gubernur kepala daerah khusus ibu kota Jakarta kembali mengeluarkan instruksi nomor 19 tahun 1986, sehubungan dengan itu, maka :
1.        Dilarang memberikan izin/legalisasi setiap mutasi (jual/beli) pemilikan tanah di kawasan Condet.
2.        Dilarang mengadakan perubahan tataguna tanah sesuai dengan peruntukan yang akan ditetapkan kemudian, termasuk menebang/ memusnahkan tanaman salak, duku dan melinjo.
3.        Dilarang memberikan izin dan atau membangun bangunan baru mulai dari pembangunan pondasi dan seterusnya di kawasan Condet.

Pernyataan ini berlaku mulai tanggal 1 Januari 1986 sampai selesainya penyusunan konsepsi pembangunan di wilayah Condet atau dikenal dengan istilah “status Kuo” terhadap Pembangunan di kawasan Condet.


Gubernur Legendaris Jakarta Ali Sadikin
 
Kemudian pada tanggal 3 Agustus 1986 kembali pemerintah mengeluarkan instruksi pencabutan status quo pembangunan Condet dengan instruksi nomor 227 tahun 1986 yang pada intinya memberikan kelonggaran terhadap  Pembangunan di kawasan Condet, pada masa itu Gubernur DKI adalah dijabat R. Suprapto (Anonomuos,1986)

Pada tahun 2008 ada upaya pemerintah menyediakan lahan kurang lebih 3 Ha untuk menjaga keanekaragaman hayati. Condet adalah sebuah perkampungan Betawi yang berusaha menjaga identitas dirinya ditengah gempuran modernisasi di era globalisasi.

Daftar pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar